Rabu, 08 Juni 2011

Pidato Mantan Presiden RI, BJ Habibie


Mantan Presiden BJ Habibie mengungkapan secara tepat analisanya mengenai penyebab nilai-nilai Pancasila yang seolah-olah diabaikan pasca era reformasi. Tak heran bila pidato yang disampaikannya secara berapi-api itu memukau para hadirin puncak peringatan Hari Lahir Pancasila.

Acara itu dihadiri oleh Presiden Kelima Megawati dan Presiden SBY. Mereka berpidato bergiliran. Berikut ini teks pidato lengkap Habibie yang disampaikan dalam acara yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Para hadirin yang berbahagia,

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.

Senin, 06 Juni 2011

Gempa Berkekuatan 3.9 SR Kembali di Rasakan Kebumen dan Banjarnegara





Plotting posisi kedua episentrum dan Kabupaten Kebumen. Nampak keduanya hanya tepisah jarak 4 km sehingga kemungkinan sumber gempanya adalah patahan dangkal sepanjang +/- 4 km yang terletak di perbatasan Kebumen-Banjarnegara. Lingkaran-lingkaran berlabel 3, 2, 1 menunjukkan batas daeah yang menerima getaran 3 MMI, 2 MMI dan 1 MMI.
Gempa tektonik berkekuatan 3,9 Skala Richter kembali mengguncang sebagian wilayah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (6/6). Gempa terjadi pukul 02.11 WIB.

"Gempa kali ini berlokasi di 7,46 derajat lintang selatan dan 109,66 derajat bujur timur atau 24 kilometer barat laut Kebumen dengan kedalaman 11 kilometer," kata Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Banjarnegara, Ahmad Lani, melalui pesan singkat yang diterima ANTARA di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara.

Gempa tersebut dirasakan di Banjarnegara III MMI (Mercalli Modify Intensity).

Sebelumnya, gempa tektonik berkekuatan 3,7 SR mengguncang sebagian wilayah Kabupaten Banjarnegara, Minggu (5/6), pukul 21.02 WIB.

Ia, mengatakan, gempa tersebut berlokasi di 7,60 derajat lintang selatan dan 109,67 derajat bujur timur.

"Lokasi gempa berada di wilayah Bantarkawung atau sekitar delapan kilometer sebelah Timur Laut Kebumen dengan kedalaman 10 kilometer. Ini gempa lokal dan dapat dirasakan hingga III MMI (Mercalli Modify Intensity) di Banjarnegara," katanya.

Pihaknya masih menunggu hasil analisis BMKG Pusat terkait penyebab gempa. "Kami masih menunggu hasil analisis dari pusat, apakah ada sesar yang aktif karena di wilayah Bantarkawung banyak terdapat sesar," katanya.

Seorang warga Kota Banjarnegara, Dhian, mengatakan, guncangan gempa, Senin dini hari tersebut, dirasakan cukup kencang.

"Banjarnegara diguncang gempa lagi, guncangannya lebih kencang dari yang semalam (5/6). Semoga tidak berimbas ke Gunung Dieng," katanya.

Kebumen Diguncang Gempa Hari INi, Minggu 05 Juni 2011

Kebumen, Gempa kembali dirasakan oleh warga kebumen dan Banjarnegara, Minggu Malam
05/06/2011-21:02:08 WIB.

Pusat gempa berada di darat 21 km Timur Laut Kebumen, dengan kekuatan 3.7 pada SR.

No. Tanggal Mag Kedlm Lokasi Keterangan Dirasakan
(MMI)
1 05/06/2011-21:02:08 WIB 3.7 SR 10 Km 7.49 LS 109.68 BT Pusat gempa berada di darat 21 km Timur Laut Kebumen III Banjarnegara, III Kebumen,
2 05/06/2011-18:40:06 WIB 3.1 SR 14 Km 8 LS 110.22 BT Pusat gempa berada di darat 19 km barat daya Bantul II-III Yogyakarta,
3 05/06/2011-16:41:04 WIB 4.3 SR 56 Km 2.59 LS 101.95 BT Pusat gempa berada di darat 65 km Barat laut Muaraman II Bengkulu,
4 05/06/2011-15:19:26 WIB 3.7 SR 10 Km 0.6 LS 99.78 BT Pusat gempa berada di laut 32 km Barat Daya Sungai Limau Pariaman II Padang Panjang,

Sumber : http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Geofisika/GempaDirasakan.bmkg

Kamis, 02 Juni 2011

Menyikapi Islamophobia di AS



Sebagai seorang Muslim yang sekarang ini tinggal di Amerika Serikat, tentu sangat terasa betapa ketakutan secara tidak rasional terhadap Islam, yang kerap dikenal dengan ‘Islamophobia’ berada pada tingkatan yang sangat tinggi. Secara pribadi, saya belum mengalami sikap anti Islam yang berlebihan, terkecuali bahwa beberapa kali ketika akan melakukan ‘check-in’ di airport harus melalui tahap ‘klarifikasi latar belakang’ (back ground checking). Jawaban yang selama ini selalu saya dapatkan adalah karena ribuan ‘last name Ali’ yang perlu diteliti.

Tiga tahun lalu, ketika mereka akan terbang mengikuti konferensi tahunan Imams (Imams Federation Annual Convention), enam orang Imams tertahan untuk terbang hanya karena melakukan shalat di airport, atau di atas pesawat. Kasus 6 Imam ini kemudian dikenal dengan ‘flying Imams’ berhasil dimenangkan dengan tuntutan perdata yang cukup tinggi.

Minggu lalu, untuk mengikuti acara tahunan yang sama, ada dua orang Imam dari Memphis yang tertahan dan bahkan tidak diperkenankan untuk terbang pesawat Delta. Alasannya hanya karena sebagian penumpang ‘nggak sreg’ (uneasy) dengan keberadaan dua Imam tersebut dalam pesawat menuju Charlotte (North Caroline). Walau pada akhirnya kemudian diterbangkan dengan pesawat selanjutnya, namun Delta masih bertahan untuk tidak meminta maaf. Bahkan alasannya hanya ‘untuk meyakinkan keamanan’. Seolah kehadiran dua penumpang itu memang menjadi ancaman bagi keamanan.

Teman saya, Imam Amin Abdul Latif, ketua Majlis Shura NYC, pada hari yang sama ketika akan terbang dari LGA (La Guardia) New York menuju Charlotte, juga oleh pesawat American ditolak untuk diterbangkan. Bahkan tragisnya, hingga kini belum didapatkan alasan yang jelas.
Di berbagai belahan AS, ada kejadian-kejadian buruk terhadap komunitas Muslim. Di sebuah kota kecil ada mesjid yang di pintunya digantungkan daging babi (bacon). Ada pula yang dicoret-coret dengan kata-kata yang menghina atau bahkan ancaman.

Tidak terlupakan penentangan-penentangan terhadap proyek rumah ibadah (masjid/Islamic Center) di berbagai belahan negeri ini. Dari proyek masjid di Memphis, Brooklyn, Staten Island, hingga yang paling heboh, proyek Islamic Center dekat Ground Zero yang juga dikenal dengan Park5 Community Center.
Semua kasus tersebut di atas kemudian secara sigap ditangkap oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, termasuk para politisi yang memiliki kalkulasi sempit. Saya katakan memiliki kalkulasi sempit karena dianggapnya dengan memainkan sentimen dan emosi rakyat mereka akan meraih kemenangan. Ternyata meyoritasnya justeru meleset. Rick Lazio calon gubernur New York  ketika itu misalnya, yang ketika berkampanye memainkan sentimen masyarakat New York dengan issue Park51, justeru pada saat babak penyisihan untuk maju sebagai calon Republikan, hanya meraih 20% lebih suara pemilih.

Beberapa pihak tentunya menggunakan isu Islam sebagai ‘sumber kehidupan’ (material interest) dan/atau memang karena murni kebenciannya kepada agama ini. Jika anda google kata Islam, atau konsep-konsep yang rentang disalah pahami, termasuk ‘syariah’ dan ‘jihad’, akan anda dapati mereka ini dengan berbagai proyek yang sebenarnya bertujuan untuk meraih kepentingan duniawi. Mungkin yang paling terkenal di antara mereka adalah Daniel Pipe, yang di kalangan sebagian Yahudi pun dikenal sebagai ‘extremist’.

Akar Penyebab
Pada umumnya, ketika ada kejadian yang kurang mengenakkan bagi komunitas Muslim, yang terjadi adalah reaksi ‘marah’ lalu disusul dengan berbagai sikap negatif, minimal dengan kutukan. Bahkan tidak jarang reaksi itu menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban jiwa maupun material. Sedihnya, justeru mayoritasnya korban itu adalah pihak Muslim sendiri.

Untuk itu, ada baiknya barangkali jika kita coba melihat secara dekat kembali akan kemungkinan faktor atau penyebab terjadinya ‘rasa takut yang tidak masuk akal’ (ini adalah salah satu defenisi Islamophobia dari berbagai defenisi yang ada) sebagain non Muslim kepada Islam. Dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa dengan mudah mencari obat yang sesuai dengannya.
Saya membagi berbagai akar penyebab ini kepada dua sisi. Pertama, sisi non Muslim. Dan yang kedua, sisi Muslim itu sendiri.

Sisi non Muslim
Pertama: faktor media
Saya menempatkan media di urutan pertama karena ternyata seringkali dan umumnya memainkan kenyataan masyarakat yang memang masih bodoh dengan agama Islam. Kekuatan media dalam membentuk presepsi tenyata sangat dahsyat dan terkadang menjadi penentu bagaimana sebuah permasalahan kemudian terbentuk. Hitam atau putihnya, salah atau benarnya sebuah isu terkadang banyak ditentukan oleh bagaimana kemudian media mempropagandakan.

Inilah barangkali latar belakang kenapa di dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengingatkan kita dengan kenyataan itu:
Mereka berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka’ (As-Saf). Mulut-mulut yang dimaksud tentunya bukan lagi mulut atau lisan yang kita kenal secara literal. Melainkan berbagai alat komunikasi yang handal, dan ternyata media adalah alat paling handal dalam dunia yang berkarakter ‘telekomunikasi’ saat ini.

Senin, 9 Mei lalu, saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Donald Trump, pebisnis real state yang kaya raya. Pertemuan ini terjadi atas permintaan saya melalui teman dekat, Russel Simmons, raja hip hop yang terkenal. Dasarnya adalah untuk mendapatkan klarifikasi dari sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Donald Trump dalam sebuah wawancara di Fox News bersama O’Rally bahwa Islam dan Muslim itu adalah masalah.

Singkatnya pertemuan itu terjadi salam suasana yang sangat akrab, yang mengharuskan saya mengakui bahwa Donald Trump yang selama ini kita kenal dari media berbeda dari Donald Trump yang kami temui saat itu. Bahkan secara kelakar saya sampaikan hal ini kepada beliau: ‘You are certainly a different Donald Trump from the one I knew from the media’. Dia tersenyum dan menjawab singkat: ‘And you áre a different Muslim from what I knew from the media’.

Dalam pertemuan yang memakan waktu sekitar sejam itu Donald Trump mengakui bahwa media itu ternyata banyak menyajikan ‘misinformasi’ mengenai Islam. Dan dia dengan terbuka juga mengakui akan kebutaannya terhadap agama ini. Dan karenanya sangat berterima kasih atas kunjungan dan keinginan untuk mengklarifikasi banyak hal tentang Islam, khususnya mengenai konsep syari’ah dalam Islam.

Kalau saja seorang nama besar seperti Donald Trump bisa menjadi korban media, apalagi jutaan rakyat-rakyat di pinggiran kota Amerika Serikat? Apalagi mereka yang memang belum mendapatkan akses atau interaksi langsung dengan masyarakat Muslim? Sangat dimaklumi tentunya.

Kedua: faktor ketidak tahuan (ignorance)
Mayoritas mereka yang ketakutan dengan agama ini, baik yang bersifat pasif (diam saja) maupun yang aktif (terlibat berbagai usaha untuk menentang perkembangannya) disebabkan oleh kebodohannya terhadap agama ini. Atau minimal merasa tahu, tapi sesungguhnya pengetahuannya itu tidak pada tempatnya (misunderstanding).

Sekitar sebulan lalu, saya ikut dalam sebuah ‘counter rally’ yang diorganisir oleh Muslim Consultative Network dan MAS Brooklyn untuk mengcounter sebuah demonstrasi yang diorganisir oleh sekelompok orang yang menamai diri People of Sheepshead Bay. Kelompok ini sangat keras menentang proyek sebuah masjid di daerah tersebut dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal dan realistik.
Salah seorang di antara mereka, nampak setengah baya dan cukup terdidik (dari penampilan) memegang sebuah slogan dengan tulisan ‘SHARIAH LAW’. Tulisan ini dikelilingi oleh gambar tetesan-tetesan darah, gambar wanita dengan burqah, serta seorang pemuda menganyungkan pedang dengan mimik wajah yang seram.

Sebelum bergabung dengan kelompok ‘pembela proyek’ (saya memilih kata pembela karena ternyata mayoritas yg hadir membela proyek tersebut adalah teman-teman non Muslim), saya mendekati pria tersebut dan bertanya: ‘What does Shariah mean?’. Sambil tersenyum sinis, dia menjawab: ‘I don’t know. But this is the Islamic Law that those people want to impose on America’. Saya lanjutkan pertanyaan: ‘what kind of law is it?’ Dia hanya berpura-pura tidak mendengar dan menghindar dari kejaran pertanyaan-pertanyaan saya.

Intinya, betapa kebanyakan mereka yang ketakutan dengan agama ini memang disebabkan oleh kebodohan (ignorance) atau kesalah pahaman (misunderstanding) yang ada pada mereka. Dan terkadang kebodohan tersebut tidak terdeteksi oleh mereka karena juga ditopang oleh sikap ‘prejudice’ dan bahkan ‘racist’ terhadap kaum Muslim, yang dianggap pendatang (imigran). Padahal, lebih 50% warga Muslim Amerika sekarang ini adalah ‘born’ atau ‘revert’ American Muslim.
Tapi yang lebih penting lagi, who should claim to be original American other than ‘Native Indian American?’.

Ketiga: faktor politik
Faktor politik juga sangat penyebab dominan tumbuhnya islamophobia di masyarakat Amerika. Terpilihnya George W Bush menjadi presiden ke 43 Amerika Serikat diwarnai oleh keyakinan agamanya yang kental, yang kemudian banyak terefleksi dalam berbagai pernyataan dan bahkan kebijakan yang diambil di kemudian hari. Dengan gamblang misalnya G.W Bush pernah menyatakan bahwa perang kepada terror adalah ‘crusade’ atau perang salib.

Majalah Time pernah memuat berbagai ‘instruksi’ Menteri Pertahanan di bawah presiden G.W. Bush, Donald Rumsfeld, terhadap para komando militer di Afghanistan yang disertai dengan berbagai cuplikan ayat-ayat Injil.

Mungkin contoh terdekat adalah proyek Park51 yang dikenal oleh sebagian masyarakat Amerika sebagai ‘Ground Zero Mosque’. Proyek ini sebenarnya pernah dimuat oleh halama muka surat kabar harian New York Times pada bulan Desember 2009. Ketika itu, tak siapapun yang mempermasalahkan, apalagi menentangnya. Akan tetapi menjelang diadakannya ‘mid-term election’, termasuk pemilihan Gubernur New York ketika itu, isu ini mencuat karena sebagian politisi, termasuk Rick Lazio, salah satu calon dari Republikan menjadikannya sebagai ‘pusat kampanye’.

Dari sinilah awalnya kemudian meluas dan bahkan menjadi isu nasional yang panas. Para politisi Republikan, khususnya garis keras dari kalangan ‘Tea Party’ melakukan kampanye besar-besaran menentang proyek tersebut dengan berbagai alasan yang tidak berdasar dan masuk akal. Sarah Palin dan Newt Gingrit serta para politisi menjadikan isu ini sebagai komoditi berharga bagi kampanye kepentingan politik mereka.
Benar apa yang kemudian dibisikkan oleh Walikota New York ke saya pada saat acara buka puasa di kediamannya. Menurut beliau: ‘Imam, don’t be sad that much. Wait till November. Every thing will calm down’. Nopember adalah bulan di mana pemilihan gubernur New York yang baru diadakan, yang ternyata dimenangkan oleh Gubernur Cuomo dari Partai Demokrat. Michel Bloomberg sendiri selama masa-masa kritis itu telah memperlihatkan idelisme membela ‘hak konstitusi’ bagi komunitas Muslim itu. Saya sempat menangkap kemurnian tekad itu karena saya sendiri mendampingi beliau ketika melakukan ‘Press Briefing’ di Governor Island, di mana saya diminta untuk memberikan statemen mewakili komunitas Muslim.

Barangkali kita masih ingat, betapa Barack Obama dikampanyekan sebagai seorang Muslim oleh lawan-lawab politiknya ketika itu. Isu Islam di sini nampak dipakai sebagai alat politik oleh sebagai politisi karena diketahui bahwa memang banyak masyarakat Amerika yang masih ketakutan dengan kata itu (Islam). Kenyataannya, hingga kini masih ada upaya-upaya untuk mengaitkan Obama dengan agama Islam.
Semua kenyataan di atas menjadi bukti bahwa tumbuhnya rasa takut kepada agama ini karena juga didorong oleh prilaku para politisi yang menjadikan agama ini sebagai alat kepentingan kampanye mereka. Dengan demikian, faktor politik dalam menumbuhkan rasa takut atau islamophobia itu tidak bisa diingkari.
Keempat: Arogansi mayoritas dan rasa tidak aman (insecurity)

Sikap seperti ini tidak saja terjadi di kalangan non Muslim kepada Muslim. Tapi juga sebaliknya, di beberapa negara mayoritas Muslim arogansi mayoritas itu memang ada. Ada perasaan bahwa karena kita adalah mayoritas maka yang lain harus kurang atau lebih rendah dari kita yang mayoritas. Hal ini memudahkan terjadinya prilaku yang bertentangan dengan ‘nilai-nilai Islam’ yang rahmatan lil-alamin itu.
Apalagi rasa ‘tidak aman’ (insecurity) itu seringkali melanda sebagian masyarakat mayoritas. Khawatir kalau-kalau pendatang baru itu datang dan mengambil alih. Atau minimal akan mendominasi apa yang telah dianggap sebagai ‘exclusive ownership’, termasuk negara itu sendiri.

Hal ini bukan pengecualian kepada bangsa Amerika Serikat. Sejak beberapa bulan dan bahkan tahun terakhir, di mana-mana ketika kita mendengarkan teriakan demonstran menentang ‘proyek Islam’ seperti masjid, Islamic Center, dll., kata-kata seperti ‘Dominasi’ (dominance), ‘ambil alih’ (take over), dll. menjadi sangat umum.

Dan terkadang mereka memakai pandangan atau statemen orang-orang yang memang tidak saja tidak sependapat dengan mainstream komunitas Muslim, tapi jelas-jelas mereka yang sengaja menampakkan diri sebagai ‘Muslim radicals’. Kelompok-kelompok tertentu seperti ‘Muslim Revolution’ dan ‘Islamic Thinker Society’ memiliki slogan yang mereka pakai seperti ‘one day we will take over the White House’. Kelompok Al-Muhajirun di Inggris misalnya dengan terang-terangan mengatakan demikian dalam sebuah wawancara dengan CNN.

Perkembangan Islam dan komunitas Muslim di Amerika Serikat, baik secara kwantitas mapun secara kwalitas jelas menimbulkan rasa ‘tidak aman’ tersebut. Jumlah kaum Muslim di AS terus menanjak dan bahkan di luar dugaan semakain berkembang di tengah berbagai badai islamophobia yang berkembang. Kwalitas umat Islam juga semakin nampak dan diakui dengan peranan yang dimainkan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dll.

Sisi Muslim
Tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya islamophobia juga disebabkan oleh pengikut agama ini sendiri. Bahkan boleh jadi mayoritas penyebab tersebut justeru datang dari umat Islam itu sendiri. Dengan kata lain, islamophobia terkadang merupakan ‘reaksi’ dari dari ‘aksi’ umat itu sendiri. Beberapa hal dapat disebutkan antara lain:

Pertama: Misrepresentasi ajaran Islam
Sesungguhnya Islam itu indah. Dan sungguh keindahan itu tak terkalahkan oleh keindahan apapun (lyuzhirahu ‘aladdini kullih). Dan mata siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh hati, walau kebanyakan manusia mengingkari kata hatinya.

Teringat seorang baduwi yang datang ke Mekah untuk menemui seseorang yang dikenal ahli sihir, pemecah belah, dan pemberontak. Namanya Muhammad bin Abdullah (SAW). Setibanya di sekitar ka’bah sang baduwi tidak menemui siapapun kecuali seseorang yang sedang beribadah, dengan wajah khusyu’ nan bersih bersinar.

Setelah selesai beribadah orang tersebut menengok ke arah sang baduwi disertai senyuman yang ramah. ‘Siapa gerangan engkau dan sedang apa?’. ‘Saya datang dari kampung seberang untuk menemui seseorang bernama Muhammad (SAW), jawabnya.

Mendengar itu, Rasulullah SAW kembali tersenyum dan bertanya: ‘Ada apa keperluannya dengan Muhammad?’ Sang baduwi menjawab: ‘ingin melihat langsung muka orang yang tersebut, yang katanya ahli sihir, gila dan pemecah belah masyarakat’.
Mendengar itu, kembali Rasulullah SAW tersenyum seraya menjawab: ‘Orang yang engkau cari itulah yang berdiri di hadapan engkau’.

Mendengar itu, sang baduwi hampir tak percaya. Terkejut, perperangah dan masih dalam keadaan bingun, dia menanyakan kembali: ‘betulkah engkau Muhammad?’. ‘Betul saudaraku’, jawab rasulullah SAW dengan ramah.

Mendengar dan melihat langsung keindahan reprsentasi islam dari rasulullah SAW seperti, menjadikan sang baduwi langsung mengikrarkan: ‘Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah wa ash-hadu anna Muhammadan rasul Allah’.
Itu hanya satu dari segudang keindahan Islam. Dan Rasul sebagai representasi langsung dari keindahan itu telah membuktikan betapa tiada yang mampu menahan keindahannya. Dan itulah makna ayat: ‘Wa Allahu mutimmu nuurihi walau karihal kaafiruun’ (As-Shof).

Sayang, bahwa keindahan itu tertutupi oleh banyak hal. Tapi salah satu penutup keindahan itu adalah ‘misrepresentasi’ pengikutnya sendiri. Islam berada di sebuah lembah, sementara prilaku umatnya berada pada lembah yang lain. Tragisnya, dalam banyak hal orang lain menilai agama ini dari prilaku pengikutnya.
Maka, misrepresentasi Islam secara alami menumbuhkan ‘rasa takut’ (phobia) di kalangan banyak non Muslim.

Kedua: pemahaman yang sempit dan/atau di luar konteks yang benar
Ketakutan terhadap berbagai konsep keislaman, seperti jihad dan syari’ah, terkadang memang disebabkan oleh pemahaman sempit dan/atau di luar konteks yang sebenarnya.
Beberapa waktu yang lalu saya diminta untuk mengisi sebuah seminar tentang ‘Shari’ah’, sebuah istilah atau konsep baku dalam agama yang ditakuti oleh banyak kalangan di AS, termasuk beberapa politisi dan bahkan mereka yang menganggap diri sebagai kalangan akademis. Acara seminar ini diadakan secara khusus untuk non Muslim di daerah Long Island, New York.

Singkatnya, setelah acara itu banyak di antara mereka yang ‘appreciate highly’ apa yang kita sampaikan secara lugas, dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Bahkan, organisasi Katolik do Long Island memuat makalah saya tersebut dalam website mereka untuk dibaca oleh para pengikutnya.

Ternyata, kebanyakan di antara mereka itu sebelum seminar memahami ‘shari’ah’ dari beberapa website Muslim radikal yang hanya memusatkan perhatian kepada ‘hukum pidana’, seperti potong tangan, rajam, dll. Sementara hal-hal lain, yang terkadang lebih menyentuh kehidupan ril umat, seperti kesalehan sosial, jujur dalam prilaku politik misalnya, adil dalam bisnis, dll., sama sekali tidak ditampilkan.

Memahami dan menampilkan konsep-konsep Islam, termasuk jihad dan shari’ah, secara sempit dan/atau di luar konteks, menjadikan banyak pihak yang ‘ketakutan’ dan bahkan cenderung untuk melihatnya sebagai musuh yang harus diperangi. Jihad yang dipahami secara terbatas sebagai ‘perang’ adalah pemahaman yang terbatas, dan terkadang di luar konteks. Dan harus diakui bahwa konsep yang mulia ini dalam banyak hal telah banyak disalah praktekkan oleh sebagian mereka yang mengaku berjuang untuk Allah dan agamaNya. Dan ini pula merupakan kontribusi besar terhadap ‘kesalah pahaman’ dan ‘ketakutan’ (phobia) non Muslim terhadap ajaran yang mulia ini.

Ketiga: Pemahaman dan praktek kultur atas nama agama
Memahami dan mempraktekkan agama berdasarkan kultur atau sebaliknya mempraktekkan ‘budaya’ atas nama agama boleh jadi menyebabkan kesalah pahaman yang besar terhadap agama ini. Kultur atau budaya adalah produk local masing-masing manusia. Semua kelompok manusia memiliki ‘afiliasi kultur’ masing-masing, dan boleh jadi bangga dengan kultur tersebut.

Masyarakat Muslim Timur tengah misalnya, memiliki kultur Timur Tengah. Mulai dari cara berpakaian, interaksi antar anggota masyarakat (cara salam, dll.), hingga kepada bagaimana mempersepsikan ‘ciri-ciri ketakwaan’ itu sendiri. Maka, bagi seorang Muslim saudí Arabia melihat seorang Muslim tanpa janggut yang panjang, boleh jadi dianggap islamnya kurang ‘sunnah’. Atau seorang Imam yang mengimami atau bahkan sedang jalan di jalan tanpa jubah dan sorban, maka Imam itu adalah imam yang kurang ‘sunnah’.

Beberapa praktek sosial Asia Selatan, Bangladesh, Pakistan dan India misalnya, di mana dalam pandangan fiqh mereka wanita seharusnya tidak ikut shalat berjamaah di masjid. Dan terkadang pelarangan ini didasarkan kepada sebuah hadits, yang didapati sebagai hadits dhaif, mengatakan bahwa sebaik-baik shalat bagi kaum wanita adalah di rumah. Dan sebaik-baik shalat di rumah mereka adalah di dalam kamar. Pandangan (walaupun dalam argumentasi fiqh) seperti ini tentunya banyak didasarkan kepada pemahaman kultur dan bukan murni ajaran Islam.

Bahkan tidak jarang kita temui orang-orang Timur tengah atau Asia Selatan yang tidak ingin menampakkan wajah yang ceria, mudah tersenyum, ketika berpapasan dengan sesama Muslim yang berlawanan jenis. Padahal, senyuman itu belum tentu diartikan godaan. Bahkan minimal menjawab salam misalnya, kita dapati ada yang tidak menjawab salam karena dianggap tabu berbicara kepada non muhrim.

Pemahaman dan praktek Islam seperti ini akan banyak berkontribusi kepada ‘kekhawatiran’ dan bahkan ‘ketakutan’ kepada non Muslim bahwa nantinya mereka akan dirubah secara radikal oleh Islam. Amerika memang punya karakteristik budaya pakaian (asal menutup aurat), yang terkadang oleh sebagian Muslim dilihat sebagai tidak Islami.

Beberapa waktu lalu, seorang Imam bercanda, walau saya anggap serius. Menurutnya, saya kok pakaiannya tidak menampakkan sebagai seorang Imam? Ketika saya tanya ‘what does it mean to be Imams like dress?’ Dia sendiri bingun dan tidak punya jawaban. Saya katakan ‘You will see one day in America an Imam with Jeans and Cowboy hat leading the prayer in the masajid’. And I said ‘there is nothing to worry about that!’.

Tentu banyak contoh yang dapat diberikan. Termasuk dalam hubungan suami isteri, masalah isu-isu domestik misalnya. Seorang suami karena secara kultur selalu dominan di beberapa negara Islam, di AS juga masih ingin seperti itu. Padahal, isteri telah disuguhi dengan berbagai konsep kesetaraan gender, yang seungguhnya kalau dipahami secara benar adalah konsep islam. Maka terjadi ‘gesekan-gesekan’ dalam rumah tangga yang besar.

Maksud saya, betapa pemahaman dan praktek agama yang didominasi oleh kultur menjadikan kaum Muslim di AS lamban dalam integrasi positif ke dalam masyarakat Amerika. Saya katakan integrasi positif sebab di mana saja Islam hadir tidak pernah membasmi budaya local, selama itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Bahkan praktek agama yang kemudian terasimilasi secara positif tanpa merubah ‘fondasinya’ itu sendiri.

Jika tidak, umat islam akan tetap dipandang sebagai tamu dan orang asing di negaranya sendiri. Mereka dianggap pendatang dan karenanya di saat-saat terjadi gesekan antar komunitas, mereka yang tidak menyukai umat ini terkadang berslogan ‘go back to your country’.

Keempat: kurangnya partisipasi sipil
Di antara perbedaan mendasar antara Amerika dan banyak negara adalah bahwa semakin kita terlibat partisipatif dalam seluru sisi kehidupan komunal, akan semakin banyak hak-hak yang dapat diraih dan akan semakin mendapat ‘appresiasi’ umum baik dari pemerintah maupun sesama anggota masyarakat.

Masyarakat Muslim di Amerika, khususnya generasi awal imigran, memang masih sangat pasif dalam kegiatan civic mereka. Hal ini terlihat betapa ‘marah dan gerahnya’ ketika ada sebuah perundang-undangan yang diloloskan dan ternyata merugikan umat Islam. Akan tetapi mereka lupa bahwa ketika memilih mereka yang duduk di kursi parlemen itu, mereka hanya bersifat ‘tidak mau tahu’.

Mungkin dalam tingkatan yang lebih kecil adalah berapa orang tua Muslim yang terlibat dalam acara-acara ‘parent teachers association?’. Padahal, kalau saja di organisasi ‘wali murid’ ini dapat dipengaruhi maka sungguh besar dampaknya dalam mengurangi ‘islamophobia’. Dengan keaktifan dalam acara-acara mereka, maka beberapa aspek budaya islam dapat disusupkan sehingga Islam dan Muslim semakin dikenal.

Untuk itu, sangat diharapkan agar para wali murid terlibat aktif, bahkan merasa memiliki sekolah tersebut. Sense of belonging ini menjadikan umat Islam akan terlibat aktif dalam upaya-upaya meningkatkan kualitas sekolah umum di AS sehingga tanpa disadari ternyata umat ini berkontribusi langsung kepada upaya menjadikan Amerika sebagai negara yang semakin berkualitas.

Di sini masyarakat Amerika akan membuka mata bahwa ternyata keberadaan Islam dan umat islam di Amerika bukanlah hal yang perlu ditakuti sebagai ‘threat’ (ancaman) tapi partner dalam membangun negara Amerika yang semakin kuat dan berkualitas.

Kesimpulan
Diakui bahwa islamophobia di Amerika Serikat masih sangat tinggi, khususnya setelah 11 September dan berbagai ‘peristiwa’ yang mengikutinya. Ketakutan sebagian masyarakat Amerika itu juga ternyata ‘terefleksi’ dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah di kemudian hari, termasuk dilolskannya berbagai undang-undang (peraturan) yang sangat diskriminatif dan merugikan komunitas Muslim.

Namun demikian, kenyataan ini tidak perlu menjadikan umat Islam di Amerika pessismis, apalagi putus asa. Sebaliknya, seharusnya umat Islam AS sadar sejarah bahwa semua imigran yang datang ke AS mengalami hal sama, bahkan lebih buruk dari apa yang menimpa umat Islam saat ini. Padahal, kenyataannya mereka tidak harus dipaksa untuk menghadapi kenyataan seperti peristiwa 11 September 2001.

Tapi yang lebih menggembirakan adalah kenyataan bahwa ternyata Islamophobia tidak saja semakin mempopulerkan ajaran agama ini, sebaliknya semakin banyak mendapat dukungan, baik mereka yang memilih mengikuti ajarannya atau sekedar menjadi ‘benteng’ dari serangan-serangan refleksi ketakutan irasional tersebut. Mungkin saya sebutkan ‘Russell Simmons’, seorang raja bisnis entertainment (King of rapp) dan pebisnis ulung. Hampir di mana-mana sekarang ini justeru membela agama dan komunitas Islam, termasuk harus menemui Donalp Trump untuk mendakwahi tentang Islam yang ‘peace’!

Akhirnya, yang paling penting bagi umat ini, bukan apa yang Islamophobic (orang-orang islamophobia) lakukan. Tapi yang terpenting adalah ‘what i can do to face and challenge it’? Barangkali ungkapan yang paling tepat, seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an adalah ‘maa lakum an laa tuqaatiluu…..’. Makna sederhana dari ayat ini adalah ‘what is wrong with you, that makes you passive?’.

Semoga kita tersadarkan dari lamunan panjang untuk mencapai kesuksesan dengan berangan-angan dan berandai-andai. Semoga ‘islampphobia strikes’ (serangan-serangan Islamophobia) itu membangkitkan kita dari ketidak sadaran akan tanggung jawab. Atau sebaliknya menyadarkan kita bahwa kesadaran itu memerlukan ‘rasionalitas’ dalam bersikap sehingga ‘reaksi’ yang kita lakukan tetap berada dalam ‘limit-limit’ Islami dan ‘strategi; serta tujuan yang sesuai. Amin!
New York, 1 Juni 2011


Ditulis oleh Syamsi Ali, imam di Islamic Center of New York
Copy Paste : http://www.facebook.com/shamsi.ali

Selasa, 31 Mei 2011

Batik Kebumen, Motif Batik Tulis Kebumen

Motif Batik Tulis Kebumen, dengan corak yang alami hasil mahakarya dari tangan-tangan terampil yang diwariskan turun temurun dari para leluhur. Motif Batik Tulis Kebumen sangat kaya, karena jumlahnya lebih dari 200 motif. Dengan Motif Jadul (jaman dulu) kembali dihadirkan dengan harapan akan lebih menarik minat para pecinta batik di dunia.

Motif-motif batik asli dari Kebumen antara lain :jagalan, serikit, ngabah butah, kawung jenggot, pugeran, gringsing, ukel camel, sudah mulai dikenal di beberapa kota besar Indonesia. Jenis paling mahal adalah motif batik tulis jagalan dan serikit, karena tingkat kesulitan pembuatannya tinggi, dan dihasilkan  dari bahan baku dengan kwalitas nomer wahid.

Industri batik kebumen kini kembali dikembangkan di tujuh sentra batik yang terpisah di tujuh desa wilayah pada Kabupaten Kebumen. Yaitu di desa Seliling, Jemur, Tanuraksan, Batil, Surotrunan, Kambangsari, Pesawahan dan Ganggengan, Kebumen.

Seluruh perajin kini bertekad mengangkat kembali industri batik dari daerah mereka yang selama ini seakan terlupakan sebagai salah satu daerah penghasil batik.


Batik tulis lembaran dijual mulai kisaran RplOO.000.-Rpl juta-an.





























Pepaya Berkhasiat Melangsingkan Tubuh, Mengencangkan Payudara dan Obat Awet Muda


Pepaya bukan hanya buahnya saja yang dapat dimanfaatkan, hampir dari seluruh bagian pada pepaya dapat dimanfaatkan. Mulai dari akar, batang, daun, kuntum bunga, buah, kulit pohon, bahkan getahnya mempunyai khasiat yang berguna bagi tubuh.
Menurut VN Villegas dalam tulisannya yang dimuat Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang Dapat Dimakan, sekitar 60 persen buah pepaya yang masak dapat dimakan. Setiap 100 gram pepaya rata-rata mengandung 86,6 gram air, 0,5 gram protein, 0,3 gram lemak, 12,1 gram karbohidrat, 0,7 gram serat, 0,5 gram abu, 34 mg kalsium, 11 mg fosfor, 1 mg besi, 3 mg kalium, 450 mg vitamin A, 74 mg vitamin C, 0,03 mg tiamina, 0,5 mg niasina, dan 0,04 mg riboflavin. Nilai energinya 200 kJ/100 gram serta kandungan gula utamanya adalah sukrosa (48,3 persen), glukosa (29,8 persen), dan fruktosa (21,9 persen)
Selain sebagai buah  yang bisa diperoleh sepanjang tahun, pepaya juga digunakan untuk bahan rujak, minuman penyegar, agar-agar, selai, kue, dan buah beku. Di Jawa, bunga pepaya juga banyak dijadikan manisan dan daun mudanya untuk lauk atau jamu. Karpaina, semacam alkaloid yang terkandung dalam pepaya dapat digunakan untuk mengurangi gangguan jantung, obat anti-amuba, dan obat peluruh kencing.
Tahukah anda bahwa buah pepaya juga punya efek terapi yang sangat baik? khususnya terapi kecantikan bagi wanita seperti melangsingkan tubuh, mengencangkan payudara dan awet muda
Pelangsing Tubuh
Buah pepaya punya khasiat menguruskan tubuh. Dengan rajin mengkonsumsi pepaya muda dapat menghasilkan enzim dua kali lipat dari pepaya matang. Nah, enzim tersebut berperan sebagai pengurai lemak dalam tubuh kita. Enzim itu juga mengurai protein lebih baik serta melenyapkan daging berlebih.
Mengencangkan Payudara
Pepaya di percaya oleh nenek moyang kita sejak dulu sebagai buah yang dapat mengencangkan payudara. Enzim di dalam buah pepaya dapat membantu pertumbuhan payudara sehingga lebih kencang dan kenyal. Pepaya juga diperkaya dengan hormone pengencang serta vitamin A yang merangsang pengeluaran hormon wanita dan merangsang indung telur mengeluarkan hormone betina. Dari hormon tersebut kelenjar susu akan lancar dan bentuk payudara semakin ideal.
Awet Muda
Kadar vitamin C dalam pepaya adalah 48 kali lipatnya buah apel!!. Pepaya juga aktif sebagai detoksifikasi sehingga dapat menyegarkan kulit dari dalam. Pepaya juga dapat mendorong proses metabolisme kulit. Pepaya juga baik melumerkan lapisan kulit dan zat tanduk penuaan yang timbul dipori-pori sehingga kulit lebih kencang dan cerah. Jadi, mulai sekarang rajin-rajin saja pakai masker buah pepaya atau facial pepaya.

Senin, 30 Mei 2011

Lisa Smith: Mantan Kru Pesawat Militer yang Terpikat pada Islam


DUBLIN - Di pengujung usia 30-an tahun, hati Lisa Smith berlabih pada Islam. "Sepanjang usia saya, baru kali ini saya menemukan sesuatu yang bermakna dalam hidup," kata lajang yang berasal dari latar belakang ateis ini.

Pilihannya pada Islam, sungguh tak diduga kawan-kawannya di unit transportasi Angkatan Bersenjata Irlandia. Bahwa Lisa tengah memilih agama, semua temannya tahu. Ajaran Budhisme, Kristen, katholik, hingga yahudi, semua dilahap. Yang luput dari perhatian mereka, Lisa ternyata juga mempelajari Islam.
Lisa bergabung dengan Pasukan Pertahanan Udara saat berusia 19 tahun. Ia menjadi seorang prajurit selama lima tahun sebelum bergabung dengan Korps Udara, di mana ia bekerja selama dua tahun sebagai pramugari di pesawat jet pemerintah. Dia sekarang bekerja di unit transportasi tentara.

Berasal dari latar belakang yang "tidak beragama", Lisa yakin gaya hidup pestanya adalah bagian dari pencarian untuk menemukan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan.
"Saya tidak punya banyak landasan iman untuk mencari jawaban, misalnya untuk pertanyaan sederhana: mengapa kita ada di sini, apa tujuan kita dalam hidup aku hanya tahu bahwa kami tidak bisa di bumi ini tanpa alasan."

Lisa menghabiskan tahun-tahun pada pencarian dia untuk pemenuhan rohani, dengan membaca "semua hal". Tato di pergelangan tangannya (yang ia berencana untuk membuangnya dengan sinar laser) tertulis I am that I am, yang dipetiknya dari dialog sebuah film yang didasarkan pada tulisan-tulisan Chris Lawson dalam The Moses Code.

"Saya sudah melalui seluruh tahap spiritualitas, dan kemudian aku berpikir bahwa tidak ada Tuhan, hanya kesadaran Tuhan."
Sama seperti warga kulit putih Irlandia kebanyakan, ia juga membenci Islam. "Saat saya melihat gadis-gadis Muslim, dalam benak saya akan berkata, 'mereka ahli membuat bom'," katanya mengenang.
namun begitu mengenal dekat salah seorang dari mereka, sudut pandangnya berubah. "Mereka tampak begitu damai dan  mereka tidak pernah khawatir tentang apapun," ujarnya.

Ketika suatu saat ia berkesempatan membaca Alquran, ia menemukan jawabannya. "Itu petunjuk hidup yang nyata...dan saya merasa banyak pesan-pesan di dalamnya ditujukan untuk saya," ujarnya.
Lisa menghabiskan tiga bulan berikutnya untuk mempelajari Islam. "Hampir 24 jam sehari," katanya mengibaratkan.   April 2011, ia bersyahadat.

Ia beruntung, bosnya di Angkatan Udara memberi dukungan atas keputusannya memilih Islam. Sehari-hari, ia mengenakan pakaian dinas dengan topi menutupi rambutnya.

Dia berharap untuk meninggalkan pekerjaan dalam beberapa bulan mendatang "jika saya menemukan suami yang cocok". Ia berencana untuk mengundurkan diri  dalam dua tahun ini.

Sumber:Republika.com

Download Gratis Buku PAI BP Kurikulum Merdeka

Download Gratis Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP) Kurikulum Merdeka melalui laman Sitem Informasi Perbukuan Indonesia (...