Tak ada lagi Pilkada langsung bagi jabatan gubernur. Proses itu dihapus, karena pemilihan orang nomor satu di tingkat provinsi itu dikembalikan lagi ke dalam mekanisme DPRD. Ketentuan tersebut termaktub dalam draft revisi UU Pemda yang bakal segera diserahkan pemerintah kepada DPR pada akhir Juni mendatang, guna dilakukan pembahasan.
"Dalam usulan kita, Pilgub dilakukan tidak langsung, lewat perwakilan rakyat di DPRD, untuk pemilihan bupati/walikota akan dilakukan tetap secara langsung," jelas Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Prof Dr Djohermansyah Djohar di Bandung, Kamis (9/6).
Menurut dia, sejumlah pertimbangan menjadi alasan penghapusan Pilgub langsung. Di antaranya fungsi gubernur yang terbatas, lebih sebagai wakil pemerintah pusat dibanding berperan sebagai kepala daerah. Dengan demikian, legitimasinya dinilai cukup dari DPRD.
Dijelaskan, kondisi itu berbeda dibandingkan peran bupati dan walikota dengan kewenangan otonomi yang lebih luas. Dengan sejumlah desentralisasi urusan pemerintahan, keberadaannya dianggap memerlukan pengakuan yang lebih kuat melalui proses Pilkada langsung.
"Langkah ini juga lebih mengefisienkan demokrasi Indonesia, karena ongkosnya (Pilgub-red) sangat mahal, baik penyelenggaraannya maupun dari kantong kandidat sendiri," imbuhnya.
Dia mencontohkan kasus Pilgub Jatim 2008 yang dimenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf. Pelaksanaan sebanyak tiga kali putaran, ditambah pemilihan ulang saja menghabiskan dana hingga Rp 970 miliar. Dalam usulan Kemendagri, penyelenggaraan Pilgub melalui DPRD diklaim hanya akan menghabiskan dana kurang dari Rp 100 juta.
Pasalnya, kampanye lebih ditekan tak joran-joran sekaligus menghindari konflik horizontal. Proses pemilihannya pun semuanya dilakukan dalam satu hari mulai penetapan calon, penyampaian visi misi, dan pemilihan. Pemilihan satu hari ini sebagai jawaban kekhawatiran banyak pihak.
"Ini sudah disimulasi. One day election ini untuk menghindari politik uang. Selain itu, yang ketahuan bermain uang akan langsung didiskualifikasi pencalonannya," papar Djohan.
Calon Tunggal
Berbeda dengan proses Pilkada sebelumnya, yang menggunakan sistem paket pasangan, materi revisi juga mengusulkan pemilihan hanya diikuti calon tunggal yakni sebatas calon gubernur, bupati, dan walikota. Untuk posisi wakil kepala daerah, seperti dijelaskan Djohan, kewenangan itu memang diserahkan kepada calon terpilih namun dengan persetujuan pemerintah pusat.
Figur pendamping tersebut yang sudah ditentukan itu berasal dari kalangan PNS yang memenuhi syarat karier profesional. Dalam prosesnya, sang wakil bisa lebih dari satu nama, akan diusulkan kepala daerah terpilih kepada pemerintah pusat. Pusat kemudian memberikan persetujuan bagi figur yang dinilai layak.
Lebih dari itu, posisi wakil kepala daerah bersifat tidak mutlak. Dalam kasus kota atau kabupaten kecil, posisi deputi itu bisa dihilangkan. Namun bagi provinsi besar, dimungkinkan keberadaan tiga Wagub.
Namun sebelum itu terjadi, imbuhnya, para kandidat kepala daerah itu baru boleh maju setelah mendapat dukungan suara antara 15-20 persen dari partai pengusung. Revisi juga masih mengakomodir jalur perseorangan.
Sumber:http://suaramerdeka.com