Kamis, 02 Juni 2011

Menyikapi Islamophobia di AS



Sebagai seorang Muslim yang sekarang ini tinggal di Amerika Serikat, tentu sangat terasa betapa ketakutan secara tidak rasional terhadap Islam, yang kerap dikenal dengan ‘Islamophobia’ berada pada tingkatan yang sangat tinggi. Secara pribadi, saya belum mengalami sikap anti Islam yang berlebihan, terkecuali bahwa beberapa kali ketika akan melakukan ‘check-in’ di airport harus melalui tahap ‘klarifikasi latar belakang’ (back ground checking). Jawaban yang selama ini selalu saya dapatkan adalah karena ribuan ‘last name Ali’ yang perlu diteliti.

Tiga tahun lalu, ketika mereka akan terbang mengikuti konferensi tahunan Imams (Imams Federation Annual Convention), enam orang Imams tertahan untuk terbang hanya karena melakukan shalat di airport, atau di atas pesawat. Kasus 6 Imam ini kemudian dikenal dengan ‘flying Imams’ berhasil dimenangkan dengan tuntutan perdata yang cukup tinggi.

Minggu lalu, untuk mengikuti acara tahunan yang sama, ada dua orang Imam dari Memphis yang tertahan dan bahkan tidak diperkenankan untuk terbang pesawat Delta. Alasannya hanya karena sebagian penumpang ‘nggak sreg’ (uneasy) dengan keberadaan dua Imam tersebut dalam pesawat menuju Charlotte (North Caroline). Walau pada akhirnya kemudian diterbangkan dengan pesawat selanjutnya, namun Delta masih bertahan untuk tidak meminta maaf. Bahkan alasannya hanya ‘untuk meyakinkan keamanan’. Seolah kehadiran dua penumpang itu memang menjadi ancaman bagi keamanan.

Teman saya, Imam Amin Abdul Latif, ketua Majlis Shura NYC, pada hari yang sama ketika akan terbang dari LGA (La Guardia) New York menuju Charlotte, juga oleh pesawat American ditolak untuk diterbangkan. Bahkan tragisnya, hingga kini belum didapatkan alasan yang jelas.
Di berbagai belahan AS, ada kejadian-kejadian buruk terhadap komunitas Muslim. Di sebuah kota kecil ada mesjid yang di pintunya digantungkan daging babi (bacon). Ada pula yang dicoret-coret dengan kata-kata yang menghina atau bahkan ancaman.

Tidak terlupakan penentangan-penentangan terhadap proyek rumah ibadah (masjid/Islamic Center) di berbagai belahan negeri ini. Dari proyek masjid di Memphis, Brooklyn, Staten Island, hingga yang paling heboh, proyek Islamic Center dekat Ground Zero yang juga dikenal dengan Park5 Community Center.
Semua kasus tersebut di atas kemudian secara sigap ditangkap oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, termasuk para politisi yang memiliki kalkulasi sempit. Saya katakan memiliki kalkulasi sempit karena dianggapnya dengan memainkan sentimen dan emosi rakyat mereka akan meraih kemenangan. Ternyata meyoritasnya justeru meleset. Rick Lazio calon gubernur New York  ketika itu misalnya, yang ketika berkampanye memainkan sentimen masyarakat New York dengan issue Park51, justeru pada saat babak penyisihan untuk maju sebagai calon Republikan, hanya meraih 20% lebih suara pemilih.

Beberapa pihak tentunya menggunakan isu Islam sebagai ‘sumber kehidupan’ (material interest) dan/atau memang karena murni kebenciannya kepada agama ini. Jika anda google kata Islam, atau konsep-konsep yang rentang disalah pahami, termasuk ‘syariah’ dan ‘jihad’, akan anda dapati mereka ini dengan berbagai proyek yang sebenarnya bertujuan untuk meraih kepentingan duniawi. Mungkin yang paling terkenal di antara mereka adalah Daniel Pipe, yang di kalangan sebagian Yahudi pun dikenal sebagai ‘extremist’.

Akar Penyebab
Pada umumnya, ketika ada kejadian yang kurang mengenakkan bagi komunitas Muslim, yang terjadi adalah reaksi ‘marah’ lalu disusul dengan berbagai sikap negatif, minimal dengan kutukan. Bahkan tidak jarang reaksi itu menimbulkan korban yang tidak sedikit, baik korban jiwa maupun material. Sedihnya, justeru mayoritasnya korban itu adalah pihak Muslim sendiri.

Untuk itu, ada baiknya barangkali jika kita coba melihat secara dekat kembali akan kemungkinan faktor atau penyebab terjadinya ‘rasa takut yang tidak masuk akal’ (ini adalah salah satu defenisi Islamophobia dari berbagai defenisi yang ada) sebagain non Muslim kepada Islam. Dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa dengan mudah mencari obat yang sesuai dengannya.
Saya membagi berbagai akar penyebab ini kepada dua sisi. Pertama, sisi non Muslim. Dan yang kedua, sisi Muslim itu sendiri.

Sisi non Muslim
Pertama: faktor media
Saya menempatkan media di urutan pertama karena ternyata seringkali dan umumnya memainkan kenyataan masyarakat yang memang masih bodoh dengan agama Islam. Kekuatan media dalam membentuk presepsi tenyata sangat dahsyat dan terkadang menjadi penentu bagaimana sebuah permasalahan kemudian terbentuk. Hitam atau putihnya, salah atau benarnya sebuah isu terkadang banyak ditentukan oleh bagaimana kemudian media mempropagandakan.

Inilah barangkali latar belakang kenapa di dalam Al Qur’an Allah SWT telah mengingatkan kita dengan kenyataan itu:
Mereka berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka’ (As-Saf). Mulut-mulut yang dimaksud tentunya bukan lagi mulut atau lisan yang kita kenal secara literal. Melainkan berbagai alat komunikasi yang handal, dan ternyata media adalah alat paling handal dalam dunia yang berkarakter ‘telekomunikasi’ saat ini.

Senin, 9 Mei lalu, saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Donald Trump, pebisnis real state yang kaya raya. Pertemuan ini terjadi atas permintaan saya melalui teman dekat, Russel Simmons, raja hip hop yang terkenal. Dasarnya adalah untuk mendapatkan klarifikasi dari sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Donald Trump dalam sebuah wawancara di Fox News bersama O’Rally bahwa Islam dan Muslim itu adalah masalah.

Singkatnya pertemuan itu terjadi salam suasana yang sangat akrab, yang mengharuskan saya mengakui bahwa Donald Trump yang selama ini kita kenal dari media berbeda dari Donald Trump yang kami temui saat itu. Bahkan secara kelakar saya sampaikan hal ini kepada beliau: ‘You are certainly a different Donald Trump from the one I knew from the media’. Dia tersenyum dan menjawab singkat: ‘And you áre a different Muslim from what I knew from the media’.

Dalam pertemuan yang memakan waktu sekitar sejam itu Donald Trump mengakui bahwa media itu ternyata banyak menyajikan ‘misinformasi’ mengenai Islam. Dan dia dengan terbuka juga mengakui akan kebutaannya terhadap agama ini. Dan karenanya sangat berterima kasih atas kunjungan dan keinginan untuk mengklarifikasi banyak hal tentang Islam, khususnya mengenai konsep syari’ah dalam Islam.

Kalau saja seorang nama besar seperti Donald Trump bisa menjadi korban media, apalagi jutaan rakyat-rakyat di pinggiran kota Amerika Serikat? Apalagi mereka yang memang belum mendapatkan akses atau interaksi langsung dengan masyarakat Muslim? Sangat dimaklumi tentunya.

Kedua: faktor ketidak tahuan (ignorance)
Mayoritas mereka yang ketakutan dengan agama ini, baik yang bersifat pasif (diam saja) maupun yang aktif (terlibat berbagai usaha untuk menentang perkembangannya) disebabkan oleh kebodohannya terhadap agama ini. Atau minimal merasa tahu, tapi sesungguhnya pengetahuannya itu tidak pada tempatnya (misunderstanding).

Sekitar sebulan lalu, saya ikut dalam sebuah ‘counter rally’ yang diorganisir oleh Muslim Consultative Network dan MAS Brooklyn untuk mengcounter sebuah demonstrasi yang diorganisir oleh sekelompok orang yang menamai diri People of Sheepshead Bay. Kelompok ini sangat keras menentang proyek sebuah masjid di daerah tersebut dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal dan realistik.
Salah seorang di antara mereka, nampak setengah baya dan cukup terdidik (dari penampilan) memegang sebuah slogan dengan tulisan ‘SHARIAH LAW’. Tulisan ini dikelilingi oleh gambar tetesan-tetesan darah, gambar wanita dengan burqah, serta seorang pemuda menganyungkan pedang dengan mimik wajah yang seram.

Sebelum bergabung dengan kelompok ‘pembela proyek’ (saya memilih kata pembela karena ternyata mayoritas yg hadir membela proyek tersebut adalah teman-teman non Muslim), saya mendekati pria tersebut dan bertanya: ‘What does Shariah mean?’. Sambil tersenyum sinis, dia menjawab: ‘I don’t know. But this is the Islamic Law that those people want to impose on America’. Saya lanjutkan pertanyaan: ‘what kind of law is it?’ Dia hanya berpura-pura tidak mendengar dan menghindar dari kejaran pertanyaan-pertanyaan saya.

Intinya, betapa kebanyakan mereka yang ketakutan dengan agama ini memang disebabkan oleh kebodohan (ignorance) atau kesalah pahaman (misunderstanding) yang ada pada mereka. Dan terkadang kebodohan tersebut tidak terdeteksi oleh mereka karena juga ditopang oleh sikap ‘prejudice’ dan bahkan ‘racist’ terhadap kaum Muslim, yang dianggap pendatang (imigran). Padahal, lebih 50% warga Muslim Amerika sekarang ini adalah ‘born’ atau ‘revert’ American Muslim.
Tapi yang lebih penting lagi, who should claim to be original American other than ‘Native Indian American?’.

Ketiga: faktor politik
Faktor politik juga sangat penyebab dominan tumbuhnya islamophobia di masyarakat Amerika. Terpilihnya George W Bush menjadi presiden ke 43 Amerika Serikat diwarnai oleh keyakinan agamanya yang kental, yang kemudian banyak terefleksi dalam berbagai pernyataan dan bahkan kebijakan yang diambil di kemudian hari. Dengan gamblang misalnya G.W Bush pernah menyatakan bahwa perang kepada terror adalah ‘crusade’ atau perang salib.

Majalah Time pernah memuat berbagai ‘instruksi’ Menteri Pertahanan di bawah presiden G.W. Bush, Donald Rumsfeld, terhadap para komando militer di Afghanistan yang disertai dengan berbagai cuplikan ayat-ayat Injil.

Mungkin contoh terdekat adalah proyek Park51 yang dikenal oleh sebagian masyarakat Amerika sebagai ‘Ground Zero Mosque’. Proyek ini sebenarnya pernah dimuat oleh halama muka surat kabar harian New York Times pada bulan Desember 2009. Ketika itu, tak siapapun yang mempermasalahkan, apalagi menentangnya. Akan tetapi menjelang diadakannya ‘mid-term election’, termasuk pemilihan Gubernur New York ketika itu, isu ini mencuat karena sebagian politisi, termasuk Rick Lazio, salah satu calon dari Republikan menjadikannya sebagai ‘pusat kampanye’.

Dari sinilah awalnya kemudian meluas dan bahkan menjadi isu nasional yang panas. Para politisi Republikan, khususnya garis keras dari kalangan ‘Tea Party’ melakukan kampanye besar-besaran menentang proyek tersebut dengan berbagai alasan yang tidak berdasar dan masuk akal. Sarah Palin dan Newt Gingrit serta para politisi menjadikan isu ini sebagai komoditi berharga bagi kampanye kepentingan politik mereka.
Benar apa yang kemudian dibisikkan oleh Walikota New York ke saya pada saat acara buka puasa di kediamannya. Menurut beliau: ‘Imam, don’t be sad that much. Wait till November. Every thing will calm down’. Nopember adalah bulan di mana pemilihan gubernur New York yang baru diadakan, yang ternyata dimenangkan oleh Gubernur Cuomo dari Partai Demokrat. Michel Bloomberg sendiri selama masa-masa kritis itu telah memperlihatkan idelisme membela ‘hak konstitusi’ bagi komunitas Muslim itu. Saya sempat menangkap kemurnian tekad itu karena saya sendiri mendampingi beliau ketika melakukan ‘Press Briefing’ di Governor Island, di mana saya diminta untuk memberikan statemen mewakili komunitas Muslim.

Barangkali kita masih ingat, betapa Barack Obama dikampanyekan sebagai seorang Muslim oleh lawan-lawab politiknya ketika itu. Isu Islam di sini nampak dipakai sebagai alat politik oleh sebagai politisi karena diketahui bahwa memang banyak masyarakat Amerika yang masih ketakutan dengan kata itu (Islam). Kenyataannya, hingga kini masih ada upaya-upaya untuk mengaitkan Obama dengan agama Islam.
Semua kenyataan di atas menjadi bukti bahwa tumbuhnya rasa takut kepada agama ini karena juga didorong oleh prilaku para politisi yang menjadikan agama ini sebagai alat kepentingan kampanye mereka. Dengan demikian, faktor politik dalam menumbuhkan rasa takut atau islamophobia itu tidak bisa diingkari.
Keempat: Arogansi mayoritas dan rasa tidak aman (insecurity)

Sikap seperti ini tidak saja terjadi di kalangan non Muslim kepada Muslim. Tapi juga sebaliknya, di beberapa negara mayoritas Muslim arogansi mayoritas itu memang ada. Ada perasaan bahwa karena kita adalah mayoritas maka yang lain harus kurang atau lebih rendah dari kita yang mayoritas. Hal ini memudahkan terjadinya prilaku yang bertentangan dengan ‘nilai-nilai Islam’ yang rahmatan lil-alamin itu.
Apalagi rasa ‘tidak aman’ (insecurity) itu seringkali melanda sebagian masyarakat mayoritas. Khawatir kalau-kalau pendatang baru itu datang dan mengambil alih. Atau minimal akan mendominasi apa yang telah dianggap sebagai ‘exclusive ownership’, termasuk negara itu sendiri.

Hal ini bukan pengecualian kepada bangsa Amerika Serikat. Sejak beberapa bulan dan bahkan tahun terakhir, di mana-mana ketika kita mendengarkan teriakan demonstran menentang ‘proyek Islam’ seperti masjid, Islamic Center, dll., kata-kata seperti ‘Dominasi’ (dominance), ‘ambil alih’ (take over), dll. menjadi sangat umum.

Dan terkadang mereka memakai pandangan atau statemen orang-orang yang memang tidak saja tidak sependapat dengan mainstream komunitas Muslim, tapi jelas-jelas mereka yang sengaja menampakkan diri sebagai ‘Muslim radicals’. Kelompok-kelompok tertentu seperti ‘Muslim Revolution’ dan ‘Islamic Thinker Society’ memiliki slogan yang mereka pakai seperti ‘one day we will take over the White House’. Kelompok Al-Muhajirun di Inggris misalnya dengan terang-terangan mengatakan demikian dalam sebuah wawancara dengan CNN.

Perkembangan Islam dan komunitas Muslim di Amerika Serikat, baik secara kwantitas mapun secara kwalitas jelas menimbulkan rasa ‘tidak aman’ tersebut. Jumlah kaum Muslim di AS terus menanjak dan bahkan di luar dugaan semakain berkembang di tengah berbagai badai islamophobia yang berkembang. Kwalitas umat Islam juga semakin nampak dan diakui dengan peranan yang dimainkan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan budaya, dll.

Sisi Muslim
Tidak dapat dipungkiri bahwa tingginya islamophobia juga disebabkan oleh pengikut agama ini sendiri. Bahkan boleh jadi mayoritas penyebab tersebut justeru datang dari umat Islam itu sendiri. Dengan kata lain, islamophobia terkadang merupakan ‘reaksi’ dari dari ‘aksi’ umat itu sendiri. Beberapa hal dapat disebutkan antara lain:

Pertama: Misrepresentasi ajaran Islam
Sesungguhnya Islam itu indah. Dan sungguh keindahan itu tak terkalahkan oleh keindahan apapun (lyuzhirahu ‘aladdini kullih). Dan mata siapapun yang melihatnya pasti akan jatuh hati, walau kebanyakan manusia mengingkari kata hatinya.

Teringat seorang baduwi yang datang ke Mekah untuk menemui seseorang yang dikenal ahli sihir, pemecah belah, dan pemberontak. Namanya Muhammad bin Abdullah (SAW). Setibanya di sekitar ka’bah sang baduwi tidak menemui siapapun kecuali seseorang yang sedang beribadah, dengan wajah khusyu’ nan bersih bersinar.

Setelah selesai beribadah orang tersebut menengok ke arah sang baduwi disertai senyuman yang ramah. ‘Siapa gerangan engkau dan sedang apa?’. ‘Saya datang dari kampung seberang untuk menemui seseorang bernama Muhammad (SAW), jawabnya.

Mendengar itu, Rasulullah SAW kembali tersenyum dan bertanya: ‘Ada apa keperluannya dengan Muhammad?’ Sang baduwi menjawab: ‘ingin melihat langsung muka orang yang tersebut, yang katanya ahli sihir, gila dan pemecah belah masyarakat’.
Mendengar itu, kembali Rasulullah SAW tersenyum seraya menjawab: ‘Orang yang engkau cari itulah yang berdiri di hadapan engkau’.

Mendengar itu, sang baduwi hampir tak percaya. Terkejut, perperangah dan masih dalam keadaan bingun, dia menanyakan kembali: ‘betulkah engkau Muhammad?’. ‘Betul saudaraku’, jawab rasulullah SAW dengan ramah.

Mendengar dan melihat langsung keindahan reprsentasi islam dari rasulullah SAW seperti, menjadikan sang baduwi langsung mengikrarkan: ‘Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah wa ash-hadu anna Muhammadan rasul Allah’.
Itu hanya satu dari segudang keindahan Islam. Dan Rasul sebagai representasi langsung dari keindahan itu telah membuktikan betapa tiada yang mampu menahan keindahannya. Dan itulah makna ayat: ‘Wa Allahu mutimmu nuurihi walau karihal kaafiruun’ (As-Shof).

Sayang, bahwa keindahan itu tertutupi oleh banyak hal. Tapi salah satu penutup keindahan itu adalah ‘misrepresentasi’ pengikutnya sendiri. Islam berada di sebuah lembah, sementara prilaku umatnya berada pada lembah yang lain. Tragisnya, dalam banyak hal orang lain menilai agama ini dari prilaku pengikutnya.
Maka, misrepresentasi Islam secara alami menumbuhkan ‘rasa takut’ (phobia) di kalangan banyak non Muslim.

Kedua: pemahaman yang sempit dan/atau di luar konteks yang benar
Ketakutan terhadap berbagai konsep keislaman, seperti jihad dan syari’ah, terkadang memang disebabkan oleh pemahaman sempit dan/atau di luar konteks yang sebenarnya.
Beberapa waktu yang lalu saya diminta untuk mengisi sebuah seminar tentang ‘Shari’ah’, sebuah istilah atau konsep baku dalam agama yang ditakuti oleh banyak kalangan di AS, termasuk beberapa politisi dan bahkan mereka yang menganggap diri sebagai kalangan akademis. Acara seminar ini diadakan secara khusus untuk non Muslim di daerah Long Island, New York.

Singkatnya, setelah acara itu banyak di antara mereka yang ‘appreciate highly’ apa yang kita sampaikan secara lugas, dengan bahasa yang mudah dan sederhana. Bahkan, organisasi Katolik do Long Island memuat makalah saya tersebut dalam website mereka untuk dibaca oleh para pengikutnya.

Ternyata, kebanyakan di antara mereka itu sebelum seminar memahami ‘shari’ah’ dari beberapa website Muslim radikal yang hanya memusatkan perhatian kepada ‘hukum pidana’, seperti potong tangan, rajam, dll. Sementara hal-hal lain, yang terkadang lebih menyentuh kehidupan ril umat, seperti kesalehan sosial, jujur dalam prilaku politik misalnya, adil dalam bisnis, dll., sama sekali tidak ditampilkan.

Memahami dan menampilkan konsep-konsep Islam, termasuk jihad dan shari’ah, secara sempit dan/atau di luar konteks, menjadikan banyak pihak yang ‘ketakutan’ dan bahkan cenderung untuk melihatnya sebagai musuh yang harus diperangi. Jihad yang dipahami secara terbatas sebagai ‘perang’ adalah pemahaman yang terbatas, dan terkadang di luar konteks. Dan harus diakui bahwa konsep yang mulia ini dalam banyak hal telah banyak disalah praktekkan oleh sebagian mereka yang mengaku berjuang untuk Allah dan agamaNya. Dan ini pula merupakan kontribusi besar terhadap ‘kesalah pahaman’ dan ‘ketakutan’ (phobia) non Muslim terhadap ajaran yang mulia ini.

Ketiga: Pemahaman dan praktek kultur atas nama agama
Memahami dan mempraktekkan agama berdasarkan kultur atau sebaliknya mempraktekkan ‘budaya’ atas nama agama boleh jadi menyebabkan kesalah pahaman yang besar terhadap agama ini. Kultur atau budaya adalah produk local masing-masing manusia. Semua kelompok manusia memiliki ‘afiliasi kultur’ masing-masing, dan boleh jadi bangga dengan kultur tersebut.

Masyarakat Muslim Timur tengah misalnya, memiliki kultur Timur Tengah. Mulai dari cara berpakaian, interaksi antar anggota masyarakat (cara salam, dll.), hingga kepada bagaimana mempersepsikan ‘ciri-ciri ketakwaan’ itu sendiri. Maka, bagi seorang Muslim saudí Arabia melihat seorang Muslim tanpa janggut yang panjang, boleh jadi dianggap islamnya kurang ‘sunnah’. Atau seorang Imam yang mengimami atau bahkan sedang jalan di jalan tanpa jubah dan sorban, maka Imam itu adalah imam yang kurang ‘sunnah’.

Beberapa praktek sosial Asia Selatan, Bangladesh, Pakistan dan India misalnya, di mana dalam pandangan fiqh mereka wanita seharusnya tidak ikut shalat berjamaah di masjid. Dan terkadang pelarangan ini didasarkan kepada sebuah hadits, yang didapati sebagai hadits dhaif, mengatakan bahwa sebaik-baik shalat bagi kaum wanita adalah di rumah. Dan sebaik-baik shalat di rumah mereka adalah di dalam kamar. Pandangan (walaupun dalam argumentasi fiqh) seperti ini tentunya banyak didasarkan kepada pemahaman kultur dan bukan murni ajaran Islam.

Bahkan tidak jarang kita temui orang-orang Timur tengah atau Asia Selatan yang tidak ingin menampakkan wajah yang ceria, mudah tersenyum, ketika berpapasan dengan sesama Muslim yang berlawanan jenis. Padahal, senyuman itu belum tentu diartikan godaan. Bahkan minimal menjawab salam misalnya, kita dapati ada yang tidak menjawab salam karena dianggap tabu berbicara kepada non muhrim.

Pemahaman dan praktek Islam seperti ini akan banyak berkontribusi kepada ‘kekhawatiran’ dan bahkan ‘ketakutan’ kepada non Muslim bahwa nantinya mereka akan dirubah secara radikal oleh Islam. Amerika memang punya karakteristik budaya pakaian (asal menutup aurat), yang terkadang oleh sebagian Muslim dilihat sebagai tidak Islami.

Beberapa waktu lalu, seorang Imam bercanda, walau saya anggap serius. Menurutnya, saya kok pakaiannya tidak menampakkan sebagai seorang Imam? Ketika saya tanya ‘what does it mean to be Imams like dress?’ Dia sendiri bingun dan tidak punya jawaban. Saya katakan ‘You will see one day in America an Imam with Jeans and Cowboy hat leading the prayer in the masajid’. And I said ‘there is nothing to worry about that!’.

Tentu banyak contoh yang dapat diberikan. Termasuk dalam hubungan suami isteri, masalah isu-isu domestik misalnya. Seorang suami karena secara kultur selalu dominan di beberapa negara Islam, di AS juga masih ingin seperti itu. Padahal, isteri telah disuguhi dengan berbagai konsep kesetaraan gender, yang seungguhnya kalau dipahami secara benar adalah konsep islam. Maka terjadi ‘gesekan-gesekan’ dalam rumah tangga yang besar.

Maksud saya, betapa pemahaman dan praktek agama yang didominasi oleh kultur menjadikan kaum Muslim di AS lamban dalam integrasi positif ke dalam masyarakat Amerika. Saya katakan integrasi positif sebab di mana saja Islam hadir tidak pernah membasmi budaya local, selama itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Bahkan praktek agama yang kemudian terasimilasi secara positif tanpa merubah ‘fondasinya’ itu sendiri.

Jika tidak, umat islam akan tetap dipandang sebagai tamu dan orang asing di negaranya sendiri. Mereka dianggap pendatang dan karenanya di saat-saat terjadi gesekan antar komunitas, mereka yang tidak menyukai umat ini terkadang berslogan ‘go back to your country’.

Keempat: kurangnya partisipasi sipil
Di antara perbedaan mendasar antara Amerika dan banyak negara adalah bahwa semakin kita terlibat partisipatif dalam seluru sisi kehidupan komunal, akan semakin banyak hak-hak yang dapat diraih dan akan semakin mendapat ‘appresiasi’ umum baik dari pemerintah maupun sesama anggota masyarakat.

Masyarakat Muslim di Amerika, khususnya generasi awal imigran, memang masih sangat pasif dalam kegiatan civic mereka. Hal ini terlihat betapa ‘marah dan gerahnya’ ketika ada sebuah perundang-undangan yang diloloskan dan ternyata merugikan umat Islam. Akan tetapi mereka lupa bahwa ketika memilih mereka yang duduk di kursi parlemen itu, mereka hanya bersifat ‘tidak mau tahu’.

Mungkin dalam tingkatan yang lebih kecil adalah berapa orang tua Muslim yang terlibat dalam acara-acara ‘parent teachers association?’. Padahal, kalau saja di organisasi ‘wali murid’ ini dapat dipengaruhi maka sungguh besar dampaknya dalam mengurangi ‘islamophobia’. Dengan keaktifan dalam acara-acara mereka, maka beberapa aspek budaya islam dapat disusupkan sehingga Islam dan Muslim semakin dikenal.

Untuk itu, sangat diharapkan agar para wali murid terlibat aktif, bahkan merasa memiliki sekolah tersebut. Sense of belonging ini menjadikan umat Islam akan terlibat aktif dalam upaya-upaya meningkatkan kualitas sekolah umum di AS sehingga tanpa disadari ternyata umat ini berkontribusi langsung kepada upaya menjadikan Amerika sebagai negara yang semakin berkualitas.

Di sini masyarakat Amerika akan membuka mata bahwa ternyata keberadaan Islam dan umat islam di Amerika bukanlah hal yang perlu ditakuti sebagai ‘threat’ (ancaman) tapi partner dalam membangun negara Amerika yang semakin kuat dan berkualitas.

Kesimpulan
Diakui bahwa islamophobia di Amerika Serikat masih sangat tinggi, khususnya setelah 11 September dan berbagai ‘peristiwa’ yang mengikutinya. Ketakutan sebagian masyarakat Amerika itu juga ternyata ‘terefleksi’ dalam berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah di kemudian hari, termasuk dilolskannya berbagai undang-undang (peraturan) yang sangat diskriminatif dan merugikan komunitas Muslim.

Namun demikian, kenyataan ini tidak perlu menjadikan umat Islam di Amerika pessismis, apalagi putus asa. Sebaliknya, seharusnya umat Islam AS sadar sejarah bahwa semua imigran yang datang ke AS mengalami hal sama, bahkan lebih buruk dari apa yang menimpa umat Islam saat ini. Padahal, kenyataannya mereka tidak harus dipaksa untuk menghadapi kenyataan seperti peristiwa 11 September 2001.

Tapi yang lebih menggembirakan adalah kenyataan bahwa ternyata Islamophobia tidak saja semakin mempopulerkan ajaran agama ini, sebaliknya semakin banyak mendapat dukungan, baik mereka yang memilih mengikuti ajarannya atau sekedar menjadi ‘benteng’ dari serangan-serangan refleksi ketakutan irasional tersebut. Mungkin saya sebutkan ‘Russell Simmons’, seorang raja bisnis entertainment (King of rapp) dan pebisnis ulung. Hampir di mana-mana sekarang ini justeru membela agama dan komunitas Islam, termasuk harus menemui Donalp Trump untuk mendakwahi tentang Islam yang ‘peace’!

Akhirnya, yang paling penting bagi umat ini, bukan apa yang Islamophobic (orang-orang islamophobia) lakukan. Tapi yang terpenting adalah ‘what i can do to face and challenge it’? Barangkali ungkapan yang paling tepat, seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an adalah ‘maa lakum an laa tuqaatiluu…..’. Makna sederhana dari ayat ini adalah ‘what is wrong with you, that makes you passive?’.

Semoga kita tersadarkan dari lamunan panjang untuk mencapai kesuksesan dengan berangan-angan dan berandai-andai. Semoga ‘islampphobia strikes’ (serangan-serangan Islamophobia) itu membangkitkan kita dari ketidak sadaran akan tanggung jawab. Atau sebaliknya menyadarkan kita bahwa kesadaran itu memerlukan ‘rasionalitas’ dalam bersikap sehingga ‘reaksi’ yang kita lakukan tetap berada dalam ‘limit-limit’ Islami dan ‘strategi; serta tujuan yang sesuai. Amin!
New York, 1 Juni 2011


Ditulis oleh Syamsi Ali, imam di Islamic Center of New York
Copy Paste : http://www.facebook.com/shamsi.ali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Gratis Buku PAI BP Kurikulum Merdeka

Download Gratis Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP) Kurikulum Merdeka melalui laman Sitem Informasi Perbukuan Indonesia (...